Konsep Trias Politika
A. Konsep Trias
Politica
Miriam Budiardjo (2005:151), trias
politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam
kekuasaan :
- Kekuasaan Legislatif atau
kekuasaan membuat undang-undang (rule
making function)
- Kekuasaan eksekutif atau
kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule
application function)
- Kekuasaan yudikatif atau
kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). (Miriam Budiardjo)
Doktrin ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John
Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan pada saat itu ditafsirkan
sebagai pemisahan kekuasaan. Menurut John Locke kekuasaan negara dibagi
dalam tiga kekuasaan yaitu, kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah-pisah satu sama lain.
Kekuasaan legislatif ialah kekuasaan membuat peratura dan undang-undang.
Kekuasaan eksekutif ialah kekuasaan melaksanakan undang-undang dan didalamnya
termasuk kekuasaan mengadili (Locke memandang megadili itu sebagai ”uitvoering”
yaitu dipandang sebagai termasuk pelaksanaa undang-undang) dan kekuasaan
federatif ialah kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan
negara dalam hubungan denga negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya.
Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1748, filusuf
Pranci Montesquieu memperkembangka lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam
bukunya L’Esprit de Lois (The Spirit
of the Laws). Dalam urainnya membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang
yaitu : kekuasaan legislatif , kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Menurut dia ketiga
jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas
(fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya.
Motesquieu tidak memasukkan kekuasaan federatif karena
kekuasaan pengadilan itu sebagai kekuasaan yag berdiri sendiri. Hal ini
disebabkan oleh karena dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai seorang hakim,
Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaa eksekutif itu berlainan dengan kekuasaan
pengadilan. Sebaliknya oleh Motesquieu
kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut John Locke sebagai kekuasaan federatif, dimasukkan
kedalam kekuasaan eksekutif.
Oleh Montesquieu dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya
dapat dijamin, jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau
badan, tetapi oleh tiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya: ”Kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan
eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan penguasa, maka tak
akan ada kemerdekaan. Akan merupakan malapetaka kalau seadainya satu orang atau
satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahi
menyelenggarakan ketiga-tiga kekuasaan itu, yakni kekuasaan membuat
undang-undang, menyelenggarakan keputusan-keputusan umum dan mengadili
persoalan-persoalan antara individu-individu”. Pokoknya Montesquieu dengan
teorinya itu menginginkan jaminan bagi kemerdekaan individu terhadap tindakan
sewenang-wenang dari penguasa. Dan hal itu menurut pandangannya, hanya mungkin
tercapai, jika diadakan pemisahan mutlak antara ketiga kekuasaan tersebut.
Akan tetapi dalam negara abad ke-20, apalagi dalam negara
yang sedang berkembang dimana kehidupan ekonomi dan sosial telah menjadi
demikian kompleks serta badan eksekutif mengatur hampir semua aspek kehidupan
masyarakat, trias politica dalam arti ”pemisahan kekuasaan” tidak dapat
dipertahankan lagi. Dengan berkembangnya konsep mengenai negara kesejahteraan
(welfare state) dimana pemerintah bertanggungjawab atas kesejahteraan seluruh
rakyat, dan karena itu harus menyelenggarakan perencanaan perkembangan ekonomi
dan sosial secara menyeluruh, maka fungsi kenegaraan sudah jauh melebihi tiga macam fungsi yang disebut oleh
Montesquieu. Lagipula tidak dapat lagi diterima sebagai azas bahwa tiap badan
kenegaraan itu hanya dapat diserahi satu fungsi tertentu saja, seperti yang
dibayangkan oleh Montesquieu.
Misalnya saja,
badan eksekutif tidak hanya bertindak sebagai pelaksana dari undang-undang yang
diterima oleh dewan perwakilan rakyat, tetapi dia bergerak secara aktif
dibidang legislatif sendiri misalnya dengan penyusunan rancangan undang-undang,
membuat penetapan presiden, peraturan menteri dan sebagainya. Pemerintah juga
berkecimpung dibidang yudikatif (Misalnya Indonesia dalam sengketa perumahan,
dalam konflik-konflik pajak). Begitupula dalam menafsirkan undang-undang,
pemerintah juga ”membuat” undang-undang.
Oleh karena keadaan yang tersebut diatas, maka ada
kecenderungan untuk menafsirkan trias politica tidak lagi sebagai ”pemisahan kekuasaan” (separation of
powers) tetapi sebagai ”pembagian
kekuasaan” (division of power) yang
diartikan bahwa hanya fungsi pokoklah yang dibedakan menurut sifatnya serta diserahkan kepada
badan yang berbeda (distinct hands),
tetapi untuk selebihnya kerjasama diantara fungsi-fungsi tersebut tetap
diperlukan untuk kelancaran organisasi. (Friedrich dalam Mirriam Budiardjo,
155: 2005)
B. Trias Politica di Indonesia
Ketika Undang-Undang Dasar Indonesia tidak secara
eksplisit mengatakan bahwa doktrin trias politica dianut, tetapi oleh karena
ketiga undang-undang dasar menyalami
jiwa dari demokrasi kostitusionil, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia
menganut trias politica dalam arti ”pembagian
kekuasaan” . Oleh karena itu sistem pemerintahannya adalah presidensiil,
maka kabinet tidak bertanggungjawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan oleh karena itu tidak dapat dijatuhkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dalam masa jabatannya.
Sebaliknya presiden juga tidak dapat membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana halnya dalam sistem parlementer di India dan
Inggris. Presiden sebagai penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi tunduk
dan bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, dimana dia menjadi
mandatarisnya. Para menteri tidak dibenarkan menjabat anggota Dewan Perwakilan
Rakyat. Jadi pada garis besarnya, ciri-ciri azas trias politica dalam arti
pembagian kekuasaan terlihat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Karena kaburnya gagasan trias politica dewasa ini, maka
ada usaha untuk mencari peristilahan yang lebih mendekati kenyataan. Salah satu
usaha kearah ini dapat kita saksikan dalam analisa Gabriel A.Almond seorang sarjana yang terkenal
sebagai penganut ”pendekatan tingka laku”.Sarjana ini lebih suka memakai
istilah rule-making function dari
pada fungsi legislatif untuk
menghindarkan pengertian seolah-olah ketentuan-ketentuan dan perundang-undangan
yang akhirnya mengikat masyarakat politik
hanya ditentukan dalam badan legislatif. Istilah rule making mencakup
juga kegiatan membuat ketentuan-ketentuan yang mengikat yang diselenggarakan
dalam badan ekskeutif dan panitia-panitia legislatif. Dalam analisa ini rule-application function mengganti
istilah fungsi eksekutif dan istilah rule-adjudication
function menganti istilah fungsi yudikatif.
Trias politica dalam arti pembagian kekuasaan (distribution of power) yang dianut di
Indonesia dimaksudkan bahwa ketiga lembaga yakni eksekutif, legislatif dan
yudikatif masih memiliki hubungan
kekuasaan. Hal ini bisa kita lihat dalam penyusunan kebijakan publik seperti
penyusunan APBN maupun APBD. Lembaga
eksekutif dan legislatif secara
bersama-sama merumuskan kebijakan ini.
Begitupun dengan lembaga yudikatif seperti Mahakamah Konstitusi dan mahakamah agung (MA). Mahakamah Agung misalnya yang memiliki fungsi peradilan, pengawasan,
pengaturan, memberi nasehat dan fungsi administrasi. Hubungan lembaga ini bisa
kita lihat dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1950 pasal 132 yang menyatakan
bahwa ”Mahkamah Agung” wajib memberikan laporan atau pertimbangan tentang
soal-soal yang berhubungan dengan hukum apabila hal itu diminta pemerintah”.
Berbicara mengenai hubungan antara negara, pasar dan (tentu) dengan masyarakat di Indonesia, maka
kita akan dihadapkan pada sejarah panjang perjalanan bangsa ini. Kita dapat
melihat bahwa terdapat paralelitas yang senantiasa berulang dalam ranah sosial
dan politik sehingga memungkinkan adanya social
political changes. Saat Orde Lama, Soekarno mencoba melakukan
”nasionalisasi” perusahaan-perusahaan minyak asing milik penjajah Belanda
maupun korporasi asing lainnya sehingga terjadi kemandirian pengelolaan melalui
apa yang kita kenal dengan
istilahnya yang cukup populer yakni berdikari.
Berdasarkan konsep ini maka terdapat upaya Soekarno untuk mencoba mem-balance antara state dan civil society, sesuatu yang
kemudian hari malah menjadi bumerang baginya. Di era Orde Baru justru terjadi
hal sebaliknya, dominasi negara (developmentalism) yang disokong asing
justru menjadi pemandangan monoton selama 32 tahun pemerintahan Soeharto. Dan
di tahun 1998, reformasi justru membuat demokrasi yang menjadi platform utama
perjuangan, malah berjalan seirama dengan pasar. Di sinilah kemudian munculnya
kebangkitan baru liberalisme melalui apa yang dikenal dengan istilah neo-liberalism, yang mana tak
ada bebas nilai karena dalam perjalanannya menjelma menjadi ”ideologi” atau
bahkan ”mitos” seolah-olah bangsa ini tak kuasa menghindar. Ini sungguh berbeda
dengan negara yang diklaim sebagai penganut liberalisme semisal Amerika Serikat
dan Inggris yang fase awalnya justru tidak membuka pasar secara luas atau
dengan kata lain peran negara masih dominan, bahkan faktanya hingga saat ini di
Amerika Serikat tidak terjadi neo-liberalisme.
Kalau kita kaji lebih jauh, secara ontologis dalam neoliberalisme komunitas itu tidak ada. Artinya hal tersebut
membuktikan bahwa ranah civil
society seakan
”dimarjinalisasi”. Hal ini sangat bertentangan dengan fatsoen politik reformasi yang
mengedepankan demokrasi sebagai pilar utama. Ketiadaan common goods atau hilangnya nilai-nilai republicanism sebagai bagian inherent demokrasi
seperti munculnya produk-produk hukum berbasis politik yang “kesan” nilai-nilai
neoliberalnya sangat kentara seperti UU Sisdiknas, UU Penanaman Modal Asing, UU
Migas, UU Sumber Daya Air dan yang terbaru Undang-Undang tentang Corporate Social Responsibility atau UU CSR yang disahkan pada
tahun 2007 kemarin. Sebenarnya secara teoretis, keunggulan neoliberalisme lebih
ditentukan oleh pembelajaran mereka atas kritik para intelectual group atau kalangan teoretisi yang
banyak mengkaji permasalahan terkait. Menurut David Harvey (2005), salah satu pakar ekonomi politik internasional
khususnya mengenai neoliberal, bahwa teori dan praktek dimana kesejahteraan
justru dapat dicapai melalui interpreneurship individu seperti diterapkan oleh
Inggris saat kekuasaan Margareth Tatcher.
Jika dalam liberalisme, kebangkrutan ditanggung oleh para investor maka
dalam neoliberalisme kebangkrutan itu tidak hanya berakibat kerugian pada para
penanam saham melainkan juga rakyat atau dalam hal ini adalah civil society. Bahkan dengan
neoliberal ini saat terjadi krisis posisi swasta (market) terkesan leading sedangkan pemerintah atau negara
masuk hanya dengan kebijakan berupa bailout.
Sebenarnya, kemunculan neoliberalisme seiring sejalan dengan adanya globalisasi
di akhir abad ke-20, tetapi dalam perjalanannya neoliberal muncul menjadi
semacam globalism tanpa globalisasi.
Melihat itu semua maka semakin menguatkan bahwa saat ini konstelasi
perpolitikan kaitannya dengan relasi antara state,
market dan civil society nampak sekali posisi market dengan paham neoliberalnya
menyeruak ke depan. Semisal lahirnya Undang-Undang Perseroan Terbatas yang
memuat tentang CSR ( pasal 74 ) pada tanggal 20 Juli
2007 (Majalah Bisnis& CSR, 2007: 62). Ini seakan menjelma menjadi ”bendera
putih negara” karena di sini menjadi sebuah pertanyaan bahwa sesuai konstitusi
kita masalah kesejahteraan civil
society merupakan tanggung
jawab negara. Secara ontologis, hukum itu muncul adalah untuk mengatur
interaksi manusia sehingga bargaining interaksi itu kemudian menjadi
seimbang. Namun dalam logika neoliberal, terdapat sebuah diktum untuk
membiarkan interaksi itu terjadi secara alami dan hukum dijadikan semacam
”praktek Darwinisme”. Maka kemudian hukum muncul sebagai alat negara sehingga
bermunculan produk-produk hukum sebagai ”pembungkus sosial politik” seperti
munculnya Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA), munculnya rezim HAKI
(Hak Atas Kekayaan Intelektual) pada tahun 2007 dengan UU ITE, ataupun UU
Sisdiknas tahun 2003. sehingga menjadi pertanyaan pada akhirnya hukum itu
berpihak pada siapa dan dimana peran negara jika kemudian semua tugas dan tanggung
jawab negara di”serah”kan pada swasta alias market.
Melihat realita ini maka menurut hemat saya. Diperlukan adanya pemetaan
terhadap peran dan fungsi negara dan pasar kaitannya dengan fenomena global
untuk memasukkan peran civil
society sehingga terdapat
keseimbangan interaksi antara ketiga elemen tersebut. Sehingga sebuah
pertanyaan besar yang sekaligus menutup tulisan pendek ini adalah apakah yang
salah dengan bangsa ini sehingga regulasi di Indonesia terkesan lemah dan
berpihak pada satu kekuatan saja? Visi misi kita ataukah justru tidak adanya
komitmen untuk berusaha menyeimbangkan hal itu. Pada akhirnya pertanyaan apakah
ada dominasi market atau tidak semua dikembalikan pada
visi, misi dan komitmen bangsa ini dan itu semua dapat dilihat pada realitas
yang tengah berlangsung di depan kita.