Kamis, 15 Desember 2011

Konsep Trias Politika , state-market-society




Konsep Trias Politika

A. Konsep Trias Politica
            Miriam Budiardjo (2005:151), trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan :
  1. Kekuasaan Legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (rule making function)
  2. Kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function)
  3. Kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). (Miriam Budiardjo)
Doktrin ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755) dan pada saat itu ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan. Menurut John Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu, kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah-pisah satu sama lain. Kekuasaan legislatif ialah kekuasaan membuat peratura dan undang-undang. Kekuasaan eksekutif ialah kekuasaan melaksanakan undang-undang dan didalamnya termasuk kekuasaan mengadili (Locke memandang megadili itu sebagai ”uitvoering” yaitu dipandang sebagai termasuk pelaksanaa undang-undang) dan kekuasaan federatif ialah kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan denga negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya.
Beberapa puluh tahun kemudian, pada tahun 1748, filusuf Pranci Montesquieu memperkembangka lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya L’Esprit de Lois (The Spirit of the Laws). Dalam urainnya membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang yaitu : kekuasaan  legislatif , kekuasaan eksekutif  dan kekuasaan yudikatif. Menurut dia ketiga jenis kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya.
Motesquieu tidak memasukkan kekuasaan federatif  karena kekuasaan pengadilan itu sebagai kekuasaan yag berdiri sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai seorang hakim, Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaa eksekutif itu berlainan dengan kekuasaan pengadilan.  Sebaliknya oleh Motesquieu kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut John Locke  sebagai kekuasaan federatif, dimasukkan kedalam kekuasaan eksekutif.
Oleh Montesquieu dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya:  ”Kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan. Akan merupakan malapetaka kalau seadainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga-tiga kekuasaan itu, yakni kekuasaan membuat undang-undang, menyelenggarakan keputusan-keputusan umum dan mengadili persoalan-persoalan antara individu-individu”. Pokoknya Montesquieu dengan teorinya itu menginginkan jaminan bagi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Dan hal itu menurut pandangannya, hanya mungkin tercapai, jika diadakan pemisahan mutlak antara ketiga kekuasaan tersebut.
Akan tetapi dalam negara abad ke-20, apalagi dalam negara yang sedang berkembang dimana kehidupan ekonomi dan sosial telah menjadi demikian kompleks serta badan eksekutif mengatur hampir semua aspek kehidupan masyarakat, trias politica dalam arti ”pemisahan kekuasaan” tidak dapat dipertahankan lagi. Dengan berkembangnya konsep mengenai negara kesejahteraan (welfare state) dimana pemerintah bertanggungjawab atas kesejahteraan seluruh rakyat, dan karena itu harus menyelenggarakan perencanaan perkembangan ekonomi dan sosial secara menyeluruh, maka fungsi kenegaraan sudah jauh melebihi  tiga macam fungsi yang disebut oleh Montesquieu. Lagipula tidak dapat lagi diterima sebagai azas bahwa tiap badan kenegaraan itu hanya dapat diserahi satu fungsi tertentu saja, seperti yang dibayangkan oleh Montesquieu.
  Misalnya saja, badan eksekutif tidak hanya bertindak sebagai pelaksana dari undang-undang yang diterima oleh dewan perwakilan rakyat, tetapi dia bergerak secara aktif dibidang legislatif sendiri misalnya dengan penyusunan rancangan undang-undang, membuat penetapan presiden, peraturan menteri dan sebagainya. Pemerintah juga berkecimpung dibidang yudikatif (Misalnya Indonesia dalam sengketa perumahan, dalam konflik-konflik pajak). Begitupula dalam menafsirkan undang-undang, pemerintah juga ”membuat” undang-undang.
Oleh karena keadaan yang tersebut diatas, maka ada kecenderungan untuk menafsirkan trias politica tidak lagi sebagai ”pemisahan kekuasaan” (separation of powers) tetapi sebagai ”pembagian kekuasaan”  (division of power) yang diartikan bahwa hanya fungsi pokoklah yang dibedakan  menurut sifatnya serta diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct hands), tetapi untuk selebihnya kerjasama diantara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi. (Friedrich dalam Mirriam Budiardjo, 155: 2005) 

B. Trias Politica di Indonesia
Ketika Undang-Undang Dasar Indonesia tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin trias politica dianut, tetapi oleh karena ketiga undang-undang  dasar menyalami jiwa dari demokrasi kostitusionil, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut trias politica dalam arti ”pembagian kekuasaan” . Oleh karena itu sistem pemerintahannya adalah presidensiil, maka kabinet  tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan oleh karena itu tidak dapat dijatuhkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat  dalam masa jabatannya.
Sebaliknya presiden juga tidak dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana halnya dalam sistem parlementer di India dan Inggris. Presiden sebagai penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, dimana dia menjadi mandatarisnya. Para menteri tidak dibenarkan menjabat anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi pada garis besarnya, ciri-ciri azas trias politica dalam arti pembagian kekuasaan terlihat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Karena kaburnya gagasan trias politica dewasa ini, maka ada usaha untuk mencari peristilahan yang lebih mendekati kenyataan. Salah satu usaha kearah ini dapat kita saksikan dalam analisa Gabriel  A.Almond seorang sarjana yang terkenal sebagai penganut ”pendekatan tingka laku”.Sarjana ini lebih suka memakai istilah rule-making function dari pada fungsi legislatif  untuk menghindarkan pengertian seolah-olah ketentuan-ketentuan dan perundang-undangan yang akhirnya mengikat masyarakat politik  hanya ditentukan dalam badan legislatif. Istilah rule making mencakup juga kegiatan membuat ketentuan-ketentuan yang mengikat yang diselenggarakan dalam badan ekskeutif dan panitia-panitia legislatif. Dalam analisa ini rule-application function mengganti istilah fungsi eksekutif dan istilah rule-adjudication function menganti istilah fungsi yudikatif.
Trias politica dalam arti pembagian kekuasaan (distribution of power) yang dianut di Indonesia dimaksudkan bahwa ketiga lembaga yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif  masih memiliki hubungan kekuasaan. Hal ini bisa kita lihat dalam penyusunan kebijakan publik seperti penyusunan APBN maupun  APBD. Lembaga eksekutif dan legislatif  secara bersama-sama merumuskan kebijakan ini.  Begitupun dengan lembaga yudikatif seperti Mahakamah Konstitusi dan  mahakamah agung (MA). Mahakamah Agung misalnya   yang memiliki fungsi peradilan, pengawasan, pengaturan, memberi nasehat dan fungsi administrasi. Hubungan lembaga ini bisa kita lihat dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1950 pasal 132 yang menyatakan bahwa ”Mahkamah Agung” wajib memberikan laporan atau pertimbangan tentang soal-soal yang berhubungan dengan hukum apabila hal itu diminta pemerintah”.




 Konsep State-Market-Civil Society

Berbicara mengenai hubungan antara negara, pasar dan (tentu) dengan masyarakat di Indonesia, maka kita akan dihadapkan pada sejarah panjang perjalanan bangsa ini. Kita dapat melihat bahwa terdapat paralelitas yang senantiasa berulang dalam ranah sosial dan politik sehingga memungkinkan adanya social political changes. Saat Orde Lama, Soekarno mencoba melakukan ”nasionalisasi” perusahaan-perusahaan minyak asing milik penjajah Belanda maupun korporasi asing lainnya sehingga terjadi kemandirian pengelolaan melalui apa yang kita kenal dengan istilahnya yang cukup populer yakni berdikari. Berdasarkan konsep ini maka terdapat upaya Soekarno untuk mencoba mem-balance antara state dan civil society, sesuatu yang kemudian hari malah menjadi bumerang baginya. Di era Orde Baru justru terjadi hal sebaliknya, dominasi negara (developmentalism) yang disokong asing justru menjadi pemandangan monoton selama 32 tahun pemerintahan Soeharto. Dan di tahun 1998, reformasi justru membuat demokrasi yang menjadi platform utama perjuangan, malah berjalan seirama dengan pasar. Di sinilah kemudian munculnya kebangkitan baru liberalisme melalui apa yang dikenal dengan istilah neo-liberalism, yang mana tak ada bebas nilai karena dalam perjalanannya menjelma menjadi ”ideologi” atau bahkan ”mitos” seolah-olah bangsa ini tak kuasa menghindar. Ini sungguh berbeda dengan negara yang diklaim sebagai penganut liberalisme semisal Amerika Serikat dan Inggris yang fase awalnya justru tidak membuka pasar secara luas atau dengan kata lain peran negara masih dominan, bahkan faktanya hingga saat ini di Amerika Serikat tidak terjadi neo-liberalisme.
Kalau kita kaji lebih jauh, secara ontologis dalam neoliberalisme komunitas itu tidak ada. Artinya hal tersebut membuktikan bahwa ranah civil society seakan ”dimarjinalisasi”. Hal ini sangat bertentangan dengan fatsoen politik reformasi yang mengedepankan demokrasi sebagai pilar utama. Ketiadaan common goods atau hilangnya nilai-nilai republicanism sebagai bagian inherent demokrasi seperti munculnya produk-produk hukum berbasis politik yang “kesan” nilai-nilai neoliberalnya sangat kentara seperti UU Sisdiknas, UU Penanaman Modal Asing, UU Migas, UU Sumber Daya Air dan yang terbaru Undang-Undang tentang Corporate Social Responsibility atau UU CSR yang disahkan pada tahun 2007 kemarin. Sebenarnya secara teoretis, keunggulan neoliberalisme lebih ditentukan oleh pembelajaran mereka atas kritik para intelectual group atau kalangan teoretisi yang banyak mengkaji permasalahan terkait. Menurut David Harvey (2005), salah satu pakar ekonomi politik internasional khususnya mengenai neoliberal, bahwa teori dan praktek dimana kesejahteraan justru dapat dicapai melalui interpreneurship individu seperti diterapkan oleh Inggris saat kekuasaan Margareth Tatcher.
Jika dalam liberalisme, kebangkrutan ditanggung oleh para investor maka dalam neoliberalisme kebangkrutan itu tidak hanya berakibat kerugian pada para penanam saham melainkan juga rakyat atau dalam hal ini adalah civil society. Bahkan dengan neoliberal ini saat terjadi krisis posisi swasta (market) terkesan leading sedangkan pemerintah atau negara masuk hanya dengan kebijakan berupa bailout. Sebenarnya, kemunculan neoliberalisme seiring sejalan dengan adanya globalisasi di akhir abad ke-20, tetapi dalam perjalanannya neoliberal muncul menjadi semacam globalism tanpa globalisasi.
Melihat itu semua maka semakin menguatkan bahwa saat ini konstelasi perpolitikan kaitannya dengan relasi antara state, market dan civil society nampak sekali posisi market dengan paham neoliberalnya menyeruak ke depan. Semisal lahirnya Undang-Undang Perseroan Terbatas yang memuat tentang CSR ( pasal 74 ) pada tanggal 20 Juli 2007 (Majalah Bisnis& CSR, 2007: 62). Ini seakan menjelma menjadi ”bendera putih negara” karena di sini menjadi sebuah pertanyaan bahwa sesuai konstitusi kita masalah kesejahteraan civil society merupakan tanggung jawab negara. Secara ontologis, hukum itu muncul adalah untuk mengatur interaksi manusia sehingga bargaining interaksi itu kemudian menjadi seimbang. Namun dalam logika neoliberal, terdapat sebuah diktum untuk membiarkan interaksi itu terjadi secara alami dan hukum dijadikan semacam ”praktek Darwinisme”. Maka kemudian hukum muncul sebagai alat negara sehingga bermunculan produk-produk hukum sebagai ”pembungkus sosial politik” seperti munculnya Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA), munculnya rezim HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) pada tahun 2007 dengan UU ITE, ataupun UU Sisdiknas tahun 2003. sehingga menjadi pertanyaan pada akhirnya hukum itu berpihak pada siapa dan dimana peran negara jika kemudian semua tugas dan tanggung jawab negara di”serah”kan pada swasta alias market.
Melihat realita ini maka menurut hemat saya. Diperlukan adanya pemetaan terhadap peran dan fungsi negara dan pasar kaitannya dengan fenomena global untuk memasukkan peran civil society sehingga terdapat keseimbangan interaksi antara ketiga elemen tersebut. Sehingga sebuah pertanyaan besar yang sekaligus menutup tulisan pendek ini adalah apakah yang salah dengan bangsa ini sehingga regulasi di Indonesia terkesan lemah dan berpihak pada satu kekuatan saja? Visi misi kita ataukah justru tidak adanya komitmen untuk berusaha menyeimbangkan hal itu. Pada akhirnya pertanyaan apakah ada dominasi market atau tidak semua dikembalikan pada visi, misi dan komitmen bangsa ini dan itu semua dapat dilihat pada realitas yang tengah berlangsung di depan kita.